Ta’aruf Pranikah Didalam Al Quran
Assalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh Alhamdulillah, segala puja dan puji hanya milik Allah Azza Wajalla, atas segala nikmat yang telah dikaruniakannya kepada kita, nikmat Islam, nikmat sehat, nikmat teman-teman yang baik, dan lain sebagainya. Sholawat dan salam tercurah kepada tauladan kita, manusia terbaik sepanjang masa, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, kepada keluarga beliau, para sahabat beliau radhialllahu ‘anhum, serta umatnya dahulu, kini, dan nanti yang berusaha untuk tetap istiqomah dalam menjalankan syariat agamanya.
Lazim kita dengar saat ini, entah lingkungan disekitar kita, atau dari infotainment, seseorang yang sedang dekat dengan lawan jenis layaknya mereka yang sedang berpacaran dibahasakan dengan “ta’aruf”. “Kita ga pacaran ya say, hanya ta’aruf” atau “Kita ingin proses ini baik..makanya kita ngga pacaran, tapi ta’aruf” dll. Kalimat-kalimat mereka benar, tetapi tidak sesuai dengan kenyataannya. Istilah “ta’aruf” yang mereka maksud gejalanya sama dengan mereka yang berpacaran . Mungkin juga karena mereka belum paham, ta’aruf seperti apa yang dimaksudkan oleh agama, tetapi boleh jadi juga karena salah memilih informasi/ pengetahuan tentang ta’aruf, sehingga informasi yang mereka dapat adalah informasi ta’aruf yang sesungguhnya telah terdistorsi. Mereka beranggapan ta’aruf tidak ada bedanya dengan pacaran, bagi mereka ta’aruf ya pacaran..pacaran ya ta’aruf, hanya beda istilah. Padahal pada kenyataannya, Pacaran dan Ta’aruf adalah dua hal yang sangat berbeda. Pacaran mewakili sebuah fenomena, sedangkan Ta’aruf adalah anjuran Qurani (ada didalam Al Quran dan Sunnah). Apakah sesungguhnya yang dimaksudkan dengan Ta’aruf(perkenalan yang syar’i) itu ?. Allah SWT berfirman : “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu ialah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS.Al-Hujuraat: 13). Adalah fakta bahwa Allah SWT-lah yang telah menciptakan kita dengan beragam warna kulit, beragam bahasa, menjadikannya bersuku-suku, melebihkan daerah yang satu dari daerah yang lain, sehingga menjadi sunnatullah untuk masing-masing kita saling berkenalan. Ada banyak faktor kenapa orang harus berkenalan, mungkin ingin menambah teman, mempelajari budaya orang lain, bisnis, perdagangan, jodoh, dsbnya, selama perkenalan itu dimaksudkan untuk tujuan-tujuan dan cara-cara yang baik, maka perkenalan itu akan mendatangkan keberkahan Allah SWT. Tetapi yang paling penting yang hendak disampaikan oleh ayat ini adalah Allah SWT hendak mengingatkan kita agar selalu memiliki semangat taqwa ketika akan berkenalan dengan orang lain. Artinya, ta’aruf/ perkenalan apapun yang kita lakukan, akan terkait dengan anjuran dan batasan yang dimaksudkan oleh ayat diatas. Termasuk perkenalan yang kita lakukan untuk tujuan pernikahan/ ta’aruf pranikah.
Seringkali kita menemukan orang yang begitu mudahnya bertemu dengan pasangan mereka, melalui sebuah proses perkenalan yang bisa dibilang sangat singkat, tetapi pernikahan mereka penuh cinta, keberkahan, kasih sayang, dikaruniai anak-anak yang sholeh/ah dsbnya. Disisi yang lain kita melihat orang yang begitu sulit menemukan pasangannya, kemudian melakukan proses “perkenalan” yang sarat dengan perkara-perkara yang mendekati zina, setelah menikah pun, ternyata pernikahan mereka ternyata tidaklah bertahan lama, kalaupun bertahan, masing-masing anggota keluarganya merasa kering, tidak ada kasih sayang, tidak ada cinta, tidak ada tujuan-tujuan yang besar yang ingin dibangun dari sebuah keluarga muslim. Apa yang menjadi perbedaan kondisi pertama dan kondisi kedua?. Padahal permasalahan yang dihadapi oleh kondisi pertama dan kondisi kedua boleh jadi sama, tetapi pribadi2 pada kondisi pertama dapat menyelesaikan setiap persoalan itu dengan baik karena dilandasi oleh semangat taqwa, sama halnya ketika mereka memulai perkenalan itu. Sedangkan pada kondisi kedua, ketika muncul masalah, kecenderungan untuk menyalahkan pasangan begitu besar, karena memang selama ini, semua bentuk perhatian dan kasih sayang yang ditunjukkan selama masa perkenalan hanyalah kamuflase agar “cintanya” diterima. Masa-masa perkenalan yang pada awalnya bertujuan agar dapat mengenali karakter sang calon, berubah menjadi ajang “sharing” romantisme. Betapa banyak mereka yang pada awalnya memiliki niat untuk perkenalan yang baik, tetapi tidak/ kurang memiliki ilmu akan hal itu akhirnya jatuh kepada perkara yang bertentangan dengan agama.
Perkenalan-perkenalan untuk tujuan yang lebih spesifik seperti pernikahan, haruslah dengan sebuah pemahaman yang benar akan pernikahan itu sendiri, jika tidak ingin mengalami kesulitan. Seperti..Apa yang menjadi ukuran kesiapan kita untuk menikah? Kriteria apa yang termasuk kriteria yang dekat dengan perkara agama? Apa yang menjadi batasan-batasan dalam mengusahakan perkenalan yang syar’i? Apa yang sudah kita pahami tenang “pre and after” pernikahan? Apakah lingkungan kita, sahabat-sahabat kita sehari-hari dekat dengan nilai-nilai agama? jangan-jangan setelah kita “hitung-hitung” ternyata orang-orang yang ada dilingkungan kita selama ini kurang dekat dengan perkara-perkara agama. Sahabat-sahabat yang kita miliki lebih banyak yang mendiamkan kesalahan kita daripada meluruskan kesalahan kita. Atau sahabat-sahabat yang kita miliki lebih banyak mengajak kita kepada perkara-perkara yang “meragukan” serta dekat dengan maksiat daripada yang jelas dan bernilai ibadah. Atau sahabat-sahabat yang kita miliki lebih banyak yang kurang mengenal adab pergaulan didalam Islam, dll..ketidakpahaman kita dan lingkungan yang kurang baik dapat menjadi sebab bagi kita “kesulitan” untuk bertemu/ dipertemukan dengan calon yang baik. Al Imam Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat 13 dari surat Al Hujurat diatas : “….Ayat mulia dan hadits2 syarif (*) ini telah dijadikan dalil oleh beberapa ulama yang berpendapat bahwa kafaah (sederajat) didalam masalah nikah itu tidak dijadikan syarat(sederajat-dalam hal kecantikan/kegantengan, keturunan, harta/kekayaan-ed), dan tidak ada yang dipersyaratkan kecuali agama. Hal itu didasarkan pada firman Allah Ta’ala “..Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu”. Sedangkan ulama lainnya mengambil dalil-dalil lain yang terdapat dalam buku-buku fiqih. Dan kami telah menyebutkannya sekilas mengenai hal itu dalam kitab Al Ahkam. Segala puji dan sanjungan hanya bagi Allah semata.” (Tafsir Ibnu Katsir, QS Al Hujurat:13 Juz 26).
(*)Diantara Hadits2 Syarif (mulia) tersebut : 1. Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda :”Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa kalian dan harta benda kalian, tetapi Dia melihat hati dan amal perbuatan kalian” (HR Muslim, diriwaytkan juga oleh Ibnu Majah) 2. Dari Abdullah bin Amirah, suami Darrah binti Lahab, dari Darrah binti Lahab radhiallahu’anha, ia berkata :”Ada seorang laki2 yang berdiri menemui nabi SAW yang ketika itu beliau tengah berada diatas mimbar, lalu ia berkata :’ya Rasulullah, siapakah orang yang paling baik itu?’ Rasulullah SAW menjawab ‘Sebaik-baik manusia adalah yang paling baik bacaan (Al Quran)nya, paling bertaqwa kepada Allah SWT, paling gigih menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, dan paling giat menyambung tali silaturahim’. (HR Ahmad) Didalam ayat yang lain, Allah SWT berjanji dalam firmanNya “Perempuan-perempuan yang keji adalah untuk yang keji pula dan laki-laki yang keji untuk wanita-wanita yang keji, sedangkan wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik juga diperuntukkan bagi perempuan-perempuan yang baik….” (QS.24:26). Jadi, sebagai seorang muslim/ah yang benar, seharusnya kita tidak perlu khawatir akan mendapatkan pendamping yang tak sekufu agamanya karena semuanya kembali kepada diri kita sendiri.Yang kesemuanya akan bermuara kepada betapa besar kadar keimanan dan keikhlasan kita kepada Allah SWT.
Terkait dengan memilih teman, Rasulullah SAW bersabda : “Seseorang akan mengikuti agama teman akrabnya, oleh sebab itu, hendaklah kalian memperhatikan siapa teman akrab kalian.” (H.R. Abu Daud). Memfilter teman karena agamanya hanya dapat kita lakukan, jika kita sendiri telah mengetahui batasan-batasan agama mengenai hal itu. Jadi perbanyaklah mengaji, belajar agama dari para ahlinya, agar semakin kenal kita dengan Islam, agar muncul kecintaan kita kepada Islam, agar selalu terjaga diri kita dari dosa-dosa kecil, dsbnya. Yang jika dengan dosa-dosa kecil saja, kita berhati-hati, apalagi dengan dosa-dosa yang jelas-jelas keji semacam zina. InsyaAllah akan mendekatlah orang-orang, sahabat-sahabat, yang juga berusaha untuk menjauhkan diri mereka dari dosa-dosa keji itu, terutama secara khusus terkait dengan usaha kita menjemput jodoh yang sudah dijanjikan Allah SWT, yakni laki-laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik, begitu juga sebaliknya. Wallahu’alam. wassalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh.