Senin, 02 Maret 2009






“ACHE DAMAI PASCA MOU HELSINKI
BARU SEBATAS KULIT ARI ”


Oleh; Fadlon Tripa.

Ketika masyarakat Acheh disibukkan oleh berbagai agenda politik yang diciptakan oleh para pihak yang berdamai ( GAM, RI, AMM dan CMI ), disini terlihat para pihak membuat kontrak sosial terhadap bangsa Acheh atas dasar menyelesaikan konflik Acheh yang telah menelan puluhan ribu korban plus Tsunami yang telah menghancurkan Acheh 26-12-2004.

Menelusuri jalannya suatu kontrak sosial sejak diteken MoU 15-8-2005 di Helsinki ( Helsinki accord ) banyak hal yang perlu dicermati sebelum dan pasca Helsinki accord diantara lain:

1. Tentang pelanggaran HAM berat ( Pembunuhan ) yang dilakukan oleh TNI/Polri terhadap puluhan ribu masyarakat Acheh yang tidak serta merta dengan lahirnya UU-PA 11-7-2006 dapat menutupi dosa-dosa TNI/Polri selama kurun waktu 30 tahun konflik di Acheh.
2. Bentuk pertanggungjawaban pemerintah Indonesia terhadap beberapa hukum perang yang pernah diberlakukan kepada Acheh, Darurat Militer, Darurat sipil dan tertib sipil serta masa transisi.
3. Tentang Hak sipil yang masih dikebiri, LSM ( Civil society ) yang sedang memperjuangkan hak demokrasi yang masih mendapat tekanan dan berbagai itimidasi dari aparatur Indonesia di Acheh.
4. Tentang keberadaan Kodam I Iskandar Muda yang tidak relevan lagi di Acheh, ini yang mesti disesuaikan bersamaan dengan bubarnya sayap militer GAM ( TNA ) dan merujuk MoU Helsinki pada point : 4.11. Tentara akan bertanggung jawab menjaga pertahanan eksternal Aceh. Dalam keadaan waktu damai yang normal, hanya tentara organik yang akan berada di Aceh.
Tanggungjawab yang maha besar ini ada dipihak AMM sebagai pihak penengah/juri dan juga CMI sebagai fasilisator/Mediator yang tidak serta merta melihat konflik Acheh kecil karena berbagai agenda politik terselumbung yang sedang dijalankan oleh pihak Indonesia di Acheh jangan sampai pihak International ( AMM dan CMI ) mengangap remeh karena konflik Acheh sangat Completed, yang oleh pihak AMM dan CMI bukan sekedar tekun dan giat pada saat-saat penghancuran senjata TNA dan reintegrasi TNA kedalam masyarakat, lebih dari itu dituntut AMM dan CMI di Acheh benar-benar mengemban tugas berat menyelesaikan Acheh dengan cara jujur dan beradab sesuai dengan kaedah Hukum-hukum penyelesaikan konflik yang telah disetujui oleh kedua belah pihak dengan Adil, jujur dan bermartabat.

Sehingga jangan ada kesan dan memperkuat dugaan rakyat dan bangsa Acheh melihat kerja AMM dan CMI di Acheh sebagai kaki tangan Jakarta dan sekaligus segala upaya bentuk pembodohan Rakyat dan bangsa Acheh yang dibalut dengan semboyan Damai seperti yang tertera pada alinea pertama MoU Helsinki ( helsinki accord ):
“Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menegaskan komitmen mereka untuk penyelesaian konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua.

Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia…”

Oleh pihak Indonesia selalu menjalankan politik dua dimensi: Disatu pihak Indonesia menjalankan MoU Helsinki yang telah dituangkan ke dalam UU-PA dengan setengah hati karena kelahiran UU-PA cacat hukum dikarenakan oleh bidannya ( Pansus DPR-RI tentang UU-PA ) yang tidak merujuk/bertentangan dengan semangat MoU Helsinki. Sedangkan dipihak lainnya Indonesia sedang giatnya memperkuat/konsolidasi ekspansi TNI/Polri ( militer Indonesia ) di bumi Acheh dengan berkedok dibalik segala bentuk hukum Indonesia yang dikiranya masih relevan pasca MoU Helsinki padahal mereka tidak menyadari pentingnya satu keputusan bersama yang diambil atas dasar MoU Helsinki itu sendiri yang telah meluluhlantakan hukum-hukum Indonesia lainnya di Acheh.

Tapi apa yang terjadi setahun setelah MoU Helsinki. Acheh dikatagori Aman dan Damai yang selalu diwanti-wanti oleh para Pihak berdamai agar Perdamaian di Acheh tetap dipelihara dan dijaga sehingga menjadi Perdamaian yang kekal dan Abadi selama-lamanya di bumi Acheh. Padahal semua doktrin itu tidak disertai niat baik para pihak yang berdamai khususnya oleh pihak Indonesia beserta segala perangkat penyelenggaraan pemerintahannya di bumi Acheh.

Dengan kasat mata bangsa Acheh telah melihat dan merasakan pahitnya tekanan moral dan politik yang selalu diteror oleh TNI terhadap perampasan tanah rakyat yang terjadi baru-baru ini di Djiem-Djeim Wilayah Pidie dan daerah-daerah yang lain yang bertebaran di bumi Acheh.

Oleh para pihak berdamai sebenarnya menjadi agenda pokok yang wajib diselesaikan untuk membereskan pos-pos militer Indonesia disetiap jengkal tanah di Acheh yang selalu meresahkan masyarakat atas keberadaan pos-pos militer/TNI di bumi Acheh, karena atas tindakan TNI dengan secara paksa merampas tanah rakyat dengan bertopeng demi kepentingan Nasional Indonesia di Acheh yang dibantu oleh pemda setempat, padahal mereka membangun markas besar kompi bataliyon 113 TNI di djiem-Djiem, yang tidak ada sangkut pautnya dengan perdamaian di Acheh jika dirujuk kepada MoU Helsinki.
Seperti yang tertera point 1.1.2. a) Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, dimana kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan Konstitusi. Dan point 4.11. Tentara akan bertanggung jawab menjaga pertahanan eksternal Aceh. Dalam keadaan waktu damai yang normal, hanya tentara organik yang akan berada di Aceh.

Jika memang para pihak konsisten dengan perjanjian Helsinki. Jadi tugas TNI di Acheh jelas sebagai Pertahanan luar jadi apa yang terjadi selama ini tindakan TNI untuk merperkuat tapaknya di Acheh tidak beralasan dan kalau ditelusuri mulai dari Pangdam hingga ke babinsa mencakup seluruh jajaran teritorial TNI di Acheh terang-terangan pihak Indonesia dengan segaja meremehkan Perjanjian Helsinki dan menghina bangsa Acheh ,pihak GAM dan AMM di Acheh.

Jikapun pihak AMM dan TNA/GAM atas segala keterbatasannya menjalankan tugas-tugasnya dalam mengembankan amanah MoU Hesinki ini perlu pertanggungjawaban publik terhadap bangsa Acheh, Jika pihak AMM selaku pengemban amanah MoU Helsinki sebagai pihak Monitoring/Juri/penengah tidak menjalankan tugasnya dengan baik sesuai fungsi dan tugasnya yang telah diamanahkan oleh MoU Helsinki Jelas akan memperkuat dugaan bangsa Acheh bahwa AMM di Acheh sebagai kaki tangan Jakarta di bumi Acheh.

Kita dapat melihat sepak terjangannya AMM di Acheh ketika terjadi peristiwa payang bakong malah mobil AMM sendiri yang kena tembak sampai dimanakah sekarang kasus ini yang telah merebut nyawa seorang TNA dan beberapa korban lainnya dan luka-luka akibat tindakan brutal anggota TNI yang masih bermarkas di payang bakong dan masih banyak tempat lainnya yang berketeyangan diseluruh pelosok bumi Acheh.

Bangsa Acheh sekarang telah menjadi penonton setia melihat dan meretapi setiap kejadian kebrutalan TNI di Acheh
sekalipun harapan bangsa Acheh ada pada pihak International ( AMM ) di Acheh. Sehingga kesannya sangat jelas damai di Acheh hanya sebatas kulit ari, Karena perdamaian di Acheh nyatanya menghancurkan semua harapan bangsa Acheh yang terkesan sebatas tidak ada kontak senjata TNA/GAM dengan TNI dan masyarakat diperkotaan leluasa berpergian padahal dikampung-kampung yang luput dari publik dan jurnalis masyarakat masih hidup dibawah tekanan dan teror TNI yang selalu meresahkan masyarakat akibat keberadaan pos-os militer Indonesia yang masih berketayangan dibumi Acheh. Sedangkan bentuk pelaksanaan pemerintahan Jakarta di Acheh baik sipil maupun militer masih belum berubah wujudnya seperti sebelum MoU Helsinki.

Jadi berbagai aktrasi politik Indonesia di Acheh belum dapat menyakinkan bangsa Acheh percaya penuh terhadap niat baik Indonesia menyelesaikan Acheh sesuai dengan Alinea pertama MoU Helsinki yang tertera di atas.

Jikapun sekarang ini disibukkan berbagai agenda politik Indonesia seperti Pilkada, ini juga bukan berarti bangsa Acheh telah keluar dari ancaman dan terror TNI di daerah-daerah yang luput dari jangkauan jurnalisk/publik.Sekalipun ada gubernur,bupati dan walikota semuanya keturunan Acheh tapi nyatanya mereka tetap berkiblat dengan politik Jakarta, bukankah sebelum “Helsinki accord “semua jajaran pemerintahan sipil Indonesia di Acheh keturunan Acheh?.
Apa yang dapat mereka sumbangkan terhadap konflik Acheh? Dimanakah mereka berada pada saat konflik Acheh??? Bukankah mereka semua sebagai kakitangan Jakarta???.

Mari kita kembali merenungkan apa yang telah, sedang dan yang akan terjadi di bumi tercinta Acheh sehingga bangsa Acheh jangan sampai menjadi korban para pihak opportunist karbitan Jakarta yang selalu bertopeng atas kepentingan

from teks : book


Tidak ada komentar:

Posting Komentar